Siapa yang tidak tahu tentang Sungai Gangga yang dianggap suci itu?
Siapa yang tidak tahu tentang kota besar Calcutta, yang terletak di India, di tepi salah satu muara Sungai Gangga?
Kota besar itu diberi nama menurut nama dewi Kali,
dewi maut dalam bahasa aslinya, Kalikata, atau Kota Kali. Setahun
sekali penduduk Calcutta merayakan Kali Puja; di mana-mana terlihat
patung dewi itu, dengan muka hitam, lidah merah, dan berlengan sepuluh.
Patung-patung itu didirikan di bawah naungan pondok-pondok khusus,
tempat persembahan sajian. Menjelang akhir masa Kali Puja, setiap patung
sang dewi dihiasi bunga dan dibuang ke dalam "air suci" Sungai Gangga.
Dua ratus tahun yang lalu, ada yang lain lagi yang
juga dibuang ke dalam Sungai Gangga: Ada anak-anak kecil, yang
dipersembahkan kepada dewa "air suci", dengan membiarkan mereka mati
lemas atau dimakan buaya. Dan di sepanjang tepi Sungai Gangga, ada
banyak tempat untuk membakar hidup-hidup para janda, bersama-sama dengan
jenazah almarhum suami mereka.
Jika dengan perahu dayung kita mengadakan
perjalanan dari kota besar Calcutta ke sebelah utara hanya satu setangah
jam, kita akan tiba di sebuah kota kecil; namanya, Serampore. Di sana
pernah ada sebuah "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga." Hasil
produksinya meluas ke seluruh India, bahkan ke negeri-negeri lain
(termasuk pulau Jawa). Dan ke mana-mana produk "pabrik" itu membawa
berita hidup, bukan berita maut.
Walau persentase orang India yang percaya
sepenuhnya akan berita Firman Hidup itu agak kecil, namun beritanya
membawa pengaruh besar terhadap cara hidup rakyat di seluruh India.
Lambat laun setiap adat dan kebiasaan yang membawa maut itu terkikis
habis. Sekarang anak-anak kecil tidak lagi dibuang ke dalam Sungai
Gangga. Janda-janda juga tidak lagi dibakar hidup-hidup di sepanjang
tepinya.
Istilah "Pabrik Firman Hidup" itu sengaja dipakai
di sini. Ada banyak orang Kristen yang pernah menerjemahkan Alkitab ke
dalam bahasa yang baru. Juga ada banyak orang Kristen yang rajin
menerbitkan terjemahan Alkitab yang baru, serta rajin mengedarkannya ke
mana-mana. Namun sepanjang sejarah kekristenan, hanya satu kali saja ada
usaha yang disengaja untuk menghasilkan terjemahan Alkitab secara
borongan.
Selama tahun-tahun 1800-1832, "pabrik" di Serampore itu memproduksikan:
+ seluruh Alkitab dalam enam bahasa yang berbeda-beda, dan
+ seluruh Kitab Perjanjian Baru, atau bagian-bagian lain dari Alkitab, dalam 38 bahasa yang lain.
Bukankah pusat penerbitan Kristen di Serampore itu pantas disebut: "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga"?
Bagaimanakah hal itu dapat terjadi? Siapakah orang-orang yang mendirikan dan menjalankan "pabrik" itu?
Kisahnya dimulai di suatu tempat yang amat jauh dari tepi Sungai Gangga, . . . di sebuah desa kecil di negeri Inggris.
Di sebuah bengkel tukang sepatu duduklah seorang
rakyat biasa bernama William Carey. Sepanjang minggu orang Inggris yang
sederhana itu bekerja keras, membuat dan menambal sepatu. Lalu pada
setiap hari Minggu, ia mengkhotbahkan Firman Hidup di gereja desa.
Jemaat Baptis kecil yang digembalakannya itu tidak sanggup mengongkosi
dia dan keluarganya; jadi, ia harus bekerja sambilan.
Pendidikan William Carey mula-mula sangat kurang.
Tetapi atas usahanya sendiri dengan gigih ia mencari ilmu. Sering ia
bekerja di bengkel tukang sepatu dengan sebuah buku di sampingnya. Tanpa
guru, tanpa kuliah, ia belajar bahasa-bahasa asli Alkitab, juga
beberapa bahasa modern. Bahkan ia membuat sebuah peta dunia dari kulit
binatang yang biasa dipakainya untuk membuat sepatu. Di atas petanya
itu, ia menunjukkan bangsa-bangsa yang belum mendengar Firman Hidup
tentang Tuhan Yesus.
Lambat laun Pendeta Carey berhasil membujuk
saudara-saudara seimannya bahwa Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius
28:19-20 itu masih berlaku sepanjang abad, dan di seluruh dunia.
Akhirnya pada tahun 1792 umat Baptis di Inggris mengumpulkan dana
secukupnya sehingga mereka dapat mengutus William Carey dan keluarganya
ke negeri India. Mereka berjanji akan terus menyokong usaha penginjilan
itu, dengan mempersembahkan uang dan mencari calon utusan Injil.
Menjelang akhir tahun 1793, William Carey dan
keluarganya tiba dengan selamat di kota besar Calcutta. Maka mulailah
karirnya yang gemilang, yang kemudian memberikan julukan kepada Carey:
"Bapak Gerakan Pengutusan Injil pada Zaman Modern."
Namun pada mulanya, kehidupan keluarga Carey di
India itu sulit sekali. Ibu Carey sakit-sakitan, baik jasmani maupun
jiwanya. Uang yang mereka bawa dari Inggris itu ternyata tidak
mencukupi. Dan salah seorang anak laki-laki mereka yang tercinta
meninggal ketika masih muda, akibat demam yang tak terobati lagi.
Tambahan pula, kehadiran mereka di India jelas
tidak diingini. Bukan hanya orang-orang India sendiri yang tidak mau
tahu tentang berita Firman Hidup: Kaum penjajah Inggris juga tidak
menyetujui adanya utusan Injil di daerah yang mereka kuasai.
Selama beberapa tahun Pendeta Carey dan
keluarganya dapat menghindarkan diri dari tindakan pengusiran. Mereka
sering berpindah-pindah tempat makin lama makin jauh ke pedalaman,
menelusuri sungai Gangga. Tetapi akhirnya William Carey terpojokkan oleh
pihak yang berwajib, dan diberi dua pilihan: Pulang saja, atau mulai
bekerja di bawah naungan pemerintah penjajahan sebagai pengurus pabrik
nila.
William Carey rela saja menjadi pengurus pabrik
nila: Bukankah sejak semula keluarganya kekurangan uang? Di samping itu,
ia dapat berkenalan dengan para kuli yang bekerja di bawah
pengawasannya, serta berusaha agar dapat menyampaikan Firman Hidup
tentang kasih Kristus kepada mereka.
Di tengah-tengah segala kesibukan dan kesulitan
yang dihadapi William Carey di negeri India itu, ada satu tugas utama
yang tekun dikerjakannya, yakni: Ia sedang menerjemahkan Alkitab ke
dalam bahasa Bangla, bahasa sehari-hari penduduk daerah Benggala di
India Timur itu.
Pada tahun 1797, Pendeta Carey sudah hampir
menyelesaikan terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa
Bangla. Seorang dermawan memberi sumbangan berupa uang untuk membeli
sebuah mesin cetak bekas. Mesin tua yang terbuat dari kayu itu sudah
dibongkar. Dengan susah payah Carey merakitkan kembali. Ia menghabiskan
sekian banyak waktu untuk mengurus mesin cetak itu sehingga kuli-kuli
pabrik nila mulai berkata, "Nah, inilah dia, patung berhala orang kulit
putih!"
Pemerintah penjajah mendengar berita bahwa Pendeta
Carey sudah mempunyai sebuah mesin cetak. Mereka melarang dia
menggunakannya untuk menerbitkan terjemahan Alkitab: Jangan-jangan
orang-orang India menjadi sadar bahwa berita Firman Hidup itu
diperuntukkan bagi mereka juga, mungkin akan timbul kerusuhan!
William Carey merasa sangat bingung. Haruskan dia
menghentikan proyek penerjemahannya itu? Haruskah dia meninggalkan
pekerjaannya sebagai pengurus pabrik nila? Bila ia meninggalkan
pekerjaannya itu, bagaimana ia dapat membiayai keluarganya?
Pada hari-hari yang amat membingungkan itu, Carey
menerima sepucuk surat dari tanah airnya. Bunyinya kira-kira sebagai
berikut:
"Pendeta Carey yang baik,
Mungkin Bapak sudah tidak ingat lagi: Pada suatu
hari Minggu, beberapa waktu sebelum Bapak sekeluarga berangkat dari
negeri Inggris, Bapak sempat berjalan kaki dari gereja ke rumah sambil
bercakap-cakap dengan seorang pemuda tentang rencana Bapak untuk perrgi
ke negeri India.
Akulah pemuda itu! Waktu itu aku menjelaskan, `Aku
bukan seorang pendeta atau penginjil atau pun guru, cuma seorang tukang
cetak saja.'
Lalu Bapak berkata, `Nanti di India kami pasti
memerlukan seorang yang seperti kamu , untuk mencetak terjemahan Alkitab
yang akan dikerjakan di sana.
Sekarang, apa yang Bapak harapkan itu telah
menjadi kenyataan. Aku dengan beberapa rekan sepanggilanku sedang
mengikuti jejak Bapak. Sebentar lagi kapal layar kami akan mendarat di
kota Calcutta. Niat hatiku ialah, untuk hidup dan mati bersama-sama
dengan Bapak."
William Carey sungguh berbesar hati sewaktu
membaca surat itu! Dan hanya beberapa hari kemudian, ia pun sempat
bertemu kembali dengan penulis suratnya: Seorang pemuda Inggris bernama
William Ward. Setelah turun dari kapal laut di Calcutta, pemuda itu
langsung naik ke kapal sungai. Lalu ia menelusuri Sungai Gangga jauh ke
pedalaman, ke tempat pabrik nila yang sedang diurus oleh William Carey.
William Ward membawa berita tentang suatu undangan
yang tak terduga. Hanya 25 kilometer di sebelah utara kota Calcutta
terletak daerah penjajahan Denmark, kota kecil Serampore. Rupa-rupanya
sikap pemerintah Denmark terhadap penginjilan itu jauh lebih terbuka
daripada sikap pemerintah Inggris. Buktinya, gubernur daerah penjajahan
Denmark itu telah mengundang semua utusan Injil Baptis dari Inggris agar
menetap di bawah naungannya di Serampore.
Persis pada waktu pergantian tahun dan juga
pergantian abad, William Carey dan keluarganya naik kapal sungai. Mereka
menelusuri Sungai Gangga jauh ke hilir, dengan membawa serta "patung
berhala orang kulit putih" (mesin cetak itu yang sudah dibongkar lagi).
Mendaratlah mereka di Serampore pada tanggal 10 Januari 1800.
Di sana mereka segera bergabung dengan rekan-rekan
sepanggilan mereka yang baru tiba dari Inggris. Mula-mula mereka semua
tinggal serumah. Mereka makan bersama, bekerja bersama, dan berdoa
bersama. Dan dengan segera berdirilah "Pabrik Firman Hidup di Tepi
Sungai Gangga" itu.
Tentu saja ada banyak orang, baik bangsa India
maupun bangsa asing, yang bekerja di "pabrik" itu. Namun ada tiga orang
khusus yang menjalankan usaha penyediaan terjemahan Alkitab secara
besar-besaran itu. Selain William Carey dan William Ward, ada juga
seorang penginjil dan guru bernama Joshua Marshman. Selama
berpuluh-puluh tahun, mereka bertiga bekerjasama dengan cara yang begitu
luar biasa sehingga mereka diberi julukan: "Trio Serampore."
Pendeta Marshman beserta istrinya, Ibu Hannah,
segera membuka dua sekolah swasta untuk anak-anak keturunan Eropa.
Pemasukan uang dari kedua sekolah itu dapat menutup biaya hidup mereka
semua. William Carey meneruskan pekerjaannya sebagai penerjemah utama.
William Ward mulai mendirikan bengkel percetakan. Mereka semua rajin
memberitakan Firman Hidup kepada orang-orang India yang tinggal di
sekitar Serampore. Dan hasil nyata dari pelayanan mereka itu segera
mulai terwujud.
Pada bulan Desember tahun 1800, untuk pertama
kalinya ada seorang India yang rela masuk ke dalam "air suci" Sungai
Gangga untuk dibaptiskan dalam nama Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah
Roh Kudus. Dan pada bulan Februari tahun 1801, sudah ada Kitab
Perjanjian Baru yang dicetak dalam bahasa Bangla. William Ward menaruh
eksemplar pertamanya dari Kitab Suci itu di atas meja Perjamuan Tuhan di
ruang kebaktian. Di situ semua orang Kristen baik orang Timur maupun
orang Barat berkumpul mengadakan kebaktian pengucapan syukur.
Sudah bertahun-tahun lamanya William Carey bekerja
keras, baru ada satu Kitab Perjanjian Baru saja di antara sekian banyak
bahasa orang India. Ia telah menghabiskan banyak waktu dalam
mempersoalkan seluk-beluk bahasa dengan para pandit, atau sarjana bahasa
Bangla. Namun tidak jarang ia menemukan istilah-istilah yang paling
tepat dari obrolan kuli-kuli yang bekerja di pabrik, atau dari anak
laki-lakinya sendiri, yang dibesarkan dengan menyeloteh dalam dua bahasa
sekaligus.
Sukses William Carey dalam menguasai bahasa Bangla
itu dapat dinilai berdasarkan suatu kejadian yang tak tersangka sama
sekali. Pemerintah penjajahan Inggris, yang semula hendak memojokkan dan
mengusir Carey, mulai menyadari bahwa di daerah penguasaan mereka ada
seorang sebangsa mereka yang sangat pandai dalam bahasa setempat. Maka
mereka mengundang William Carey untuk menjadi dosen luar biasa di sebuah
perguruan tinggi yang mereka dirikan di kota Calcutta. Di situ mereka
hendak mendidik para pemuda yang kelak akan mengisi jabatan tinggi untuk
seluruh India.
Selama tiga puluh tahun, setiap minggu William
Carey turun ke tepi Sungai Gangga di Serampore dan duduk di sebuah
perahu kecil, yang kemudian didayungkan sampai ke Calcutta. Di kota itu
ia menyampaikan kuliah bahasa Bangla (dan kemudian, kuliah bahasa-bahasa
lain pula) kepada para calon pegawai negeri, baik sipil maupun militer.
Honorarium yang diterimanya, langsung diserahkan
kepada rekan-rekan sekerjanya, untuk menutup biaya hidup serta biaya
menjalankan "Pabrik Firman Hidup" itu. Tetapi kedudukannya sebagai dosen
perguruan tinggi negeri itu juga membawa efek sampingan yang lebih
berharga daripada uang: Selama tiga puluh tahun, William Carey sempat
turut membentuk alam pikiran para pemuda yang kelak keputusannya akan
mempengaruhi cara hidup seluruh rakyat India. Itulah sebabnya ia dapat
memperjuangkan larangan membuang anak-anak kecil ke dalam Sungai Gangga.
Itu pulalah sebabnya ia dapat memberantas kebiasaan membakar
hidup-hidup para janda.
Namun Pendeta Carey belum merasa puas. Perjanjian
Baru bahasa Bangla hasil karyanya itu memang banyak dibaca orang-orang
India, tetapi hanya dari kasta menengah ke bawah. Orang-orang India yang
berstatus tinggi tidak mau tahu tentang terbitan apa pun dalam bahasa
rakyat, bahasa sehari-hari. "Jika sungguh penting," demikianlah pendapat
mereka, "pasti Shostro [sastra] yang baru itu akan disajikan dalam
bahasa Sansekerta, bahasa kesarjanaan."
Baiklah! William Carey mulai lagi bekerja keras
dengan para pandit. Dalam tempo sepuluh tahun ia dapat menghasilkan
Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Sansekerta pula. Sepuluh tahun lagi,
dan akhirnya menyusul seluruh Alkitab yang diterbitkan dalam bahasa
tinggi itu. Baru kemudian kaum atasan dan kaum cendekiawan rela membaca
Shostro itu. Dan ada juga efek sampingan yang tak terduga:
Pada suatu hari William Carey sedang melihat-lihat
tulisan dalam beberapa bahasa India yang masih asing baginya bahasa
Oriya dari sebelah Selatan, bahasa Marathi dari daerah di sekitar kota
Bombay, bahasa Gujarati dari sebelah Barat. Tiba-tiba ia berseru: "Wah!
Aku dapat membaca semua bahasa ini!"
Joshua Marshman dan William Ward kaget mendengar
seruan rekan sekerja mereka. Dengan cepat mereka datang untuk
mendengarkan penjelasan William Carey: "Begini, kawan-kawan: Akar kata
dari kebanyakan istilah dalam setiap bahasa daerah ini adalah kata-kata
dalam bahasa Sansekerta! Kita sudah punya kunci untuk dapat
menerjemahkan Alkitab ke dalam setiap bahasa daerah di seluruh India!"
Malam itu juga, William Carey menulis sepucuk
surat ke negeri Inggris. Ia belum pernah membujuk teman-temannya yang di
sana untuk menyumbangkan lebih banyak uang demi keperluan dirinya
sendiri. Tetapi ia rela saja meminta sumbangan khusus demi proyek
produksi Sabda Allah secara besar-besaran. "Berilah kami uang
secukupnya," begitulah ia menghimbau dalam suratnya malam itu, "dan
dalam waktu kira-kira lima belas tahun saja, kami dapat menghasilkan
Firman Hidup dalam semua bahasa di seluruh belahan Timur!"
Hebat sekali tanggapan terhadap imbauan William
Carey itu! Bukan hanya dari Inggris Raya, tetapi juga dari Amerika
Serikat, banyak yang yang masuk dari umat Kristen yang berjiwa
penginjilan. Dan hasil produksi "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai
Gangga" itu makin lama makin meluas.
Sungguh luar biasa jumlah bahasa yang dapat
dipakai oleh William Carey dan rekan-rekan sekerjanya itu! Silakan
membaca satu halaman saja dari buku harian Pendeta Carey bulan Juni,
tahun 1806:
5.45 -- Saat Teduh; membaca satu pasal dari Kitab Perjanjian
Lama dalam bahasa aslinya, bahasa Ibrani.
7.00 -- Doa pagi dalam bahasa Bangla dengan para pembantu
rumah tangga.
8.00 -- Belajar bahasa Marathi dengan seorang guru bahasa.
9.00 -- Bekerja sama dengan Pendeta Marshman, membuat
terjemahan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Inggris.
10.00 -- Pergi ke Calcutta untuk menyampaikan kuliah di
perguruan tinggi negeri dalam jurusan bahasa (bahasa
Bangla, bahasa Sansekerta, bahasa Marathi)
14.00 -- Pulang kembali ke Serampore.
15.00 -- Mengoreksi halaman-halaman uji coba dari hasil
cetakan terjemahan Kitab Nabi Yeremia dalam
bahasa Bangla.
17.00 -- Bekerja sama dengan seorang pandit untuk
menerjemahkan Kitab Injil Matius pasal 8 ke
dalam bahasa Sansekerta.
18.00 -- Belajar bahasa Telugu dengan seorang guru bahasa.
19.30 -- Menyampaikan Firman Tuhan dalam bahasa Inggris, pada
kebaktian tengah minggu untuk para petugas
pemerintah setempat dengan keluarganya
masing-masing.
21.00 -- Menerjemahkan Kitab Nabi Yehezkiel pasal 9 ke
dalam bahasa Bangla.
22.00 -- Menulis surat kepada seorang teman di negeri Inggris.
23.00 -- Saat Teduh; membaca satu pasal dari Kitab Perjanjian
Baru dalam bahasa aslinya, bahasa Yunani.
Pada bulan Maret tahun 1813, William Carey dapat
melaporkan kepada para penyokongnya di negeri Inggris bahwa sebagian
dari Alkitab, atau bahkan keseluruhannya, telah diterjemahkan ke dalam
sebanyak sepuluh bahasa. Lagi pula, semua terjemahan itu sedang dalam
proses penerbitan. Sungguh, "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga"
itu sedang berjalan dengan baik!
Hanya beberapa hari kemudian, pada malam 11 Maret
1813, William Ward sedang duduk menghadap meja tulisnya di "pabrik" itu.
Para karyawan sudah pulang untuk beristirahat. Tiba-tiba Ward mencium
bau yang aneh. Cepat-cepat ia berdiri dan membuka pintu yang menuju ke
gudang kertas. Asap mengepul keluar!"
Ward membanting pintu itu dan berteriak: "Kebakaran! Kebakaran! Ayo tolong, ada kebakaran!"
Yang mula-mula memperhatikan teriakannya itu
adalah beberapa pembantu rumah tangga. Mereka membangunkan Joshua
Marshman, yang tempat tinggalnya dekat pabrik.
"Cepat! Semua pintu dan jendela harus ditutup
rapat!" perintah William Ward. Ia tahu bahwa jika api itu tidak diberi
udara, ia akan mati sendiri.
Dengan cepat Ward dan Marshman menutup semua pintu
dan jendela pusat penerbitan itu. Mereka menyuruh para penbantu berlari
ke tepi Sungai Gangga dan mengisi tempayan dengan air sebanyak mungkin.
Ward memanjat ke atap gudang kertas. Ia membongkar atapnya, agar dapat
menuangkan berturut-turut isi setiap tempayan air itu ke atas tumpukan
kertas yang sudah gosong namun belum menyala.
Selama empat jam mereka semua membanting tulang.
Rupa-rupanya masih ada harapan mengalahkan si jago merah. Tetapi ada
seorang pembantu rumah tangga yang tidak begitu mengerti hukum ilmu
fisika. Ia membuka lagi jendela tingkat bawah, agar dapat memasukkan air
dari situ.
Sekonyong-konyong api itu membumbung tinggi! Bukan
hanya tumpukan kertas saja yang terbakar: Kaleng-kaleng berisi lemak
yang dipakai untuk melumas mesin-mesin cetak ikut berkobar juga.
William Ward baru sadar. "Wah, mesin-mesin cetak
itu!" teriaknya. Dengan susah payah ia dan Marshman menyeret ke luar
lima mesin cetak. Tetapi ruang zeting terkunci. Sebelum pintu dapat
dibuka, semua naskah berharga yang bertumpuk-tumpuk di sana telah ikut
hangus menjadi abu.
Keesokan paginya William Carey pulang ke Serampore
dari kota Calcutta. Apa yang dilihatnya? Hanya reruntuhan hitam belaka,
sisa "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" itu. Leburan logam
seberat tiga ton, naskah-naskah terjemahan Alkitab, dua naskah buku
kaidah bahasa, sebuah naskah kamus antar bahasa semuanya itu tertimbun
dalam puing-puing yang digenangi air. Kerja keras banyak orang selama
tiga tahun itu telah hilang musnah dalam waktu semalam saja.
Apa yang dilakukan kemudian oleh "Trio Serampore" itu? Apa yang mereka katakan?
Ini: "Sesuai dengan Sabda Allah dalam 2Korintus
4:9, `kami dihempaskan, namun tidak binasa.' Jika kita menempuh jalan
kedua kalinya, perjalanan kita itu lebih mudah dan lebih mantap.
Terjemahan-terjemahan yang sudah hilang itu akan diganti dengan
terjemahan-terjemahan baru yang lebih baik."
Koran-koran di kota Calcutta memuat berita musibah
itu dengan memuji-muji segala usaha Carey, Marshman, dan Ward. Dalam
tempo tujuh minggu saja, umat Kristen di Inggris menyumbangkan uang
secukupnya untuk membangun kembali pusat penerbitan itu dengan segala
perlengkapannya. Menjelang akhir tahun 1813, "Pabrik Firman Hidup di
Tepi Sungai Gangga" itu sudah kembali berjalan, bahkan dengan cara dua
kali lebih efisien daripada sebelumnya.
Anehnya, . . . yang paling awal dipanggil Tuhan
adalah yang paling muda di antara "Trio Serampore" itu. Pada tahun 1823,
William Carey dan Joshua Marshman menangis di sisi tempat tidur William
Ward, yang meninggal secara mendadak sebagai korban wabah penyakit
kolera.
Namun Ward sempat lebih dahulu melatih beberapa
tukang cetak lainnya. Jadi, ketika seorang bapak dengan kedua putranya
tiba dari pulau Jawa pada tahun 1828, di Serampore masih ada kawan-kawan
sekerja yang dapat menolong dia. Ia datang justru karena pemerintah
penjajahan Belanda di Nusantara, sama seperti pemerintahan penjajahan
Inggris di India, tidak begitu setuju dengan peredaran Alkitab dalam
bahasa setempat. Maka Kitab Perjanjian Baru yang pertama-tama dalam
bahasa Jawa dicetak sebanyak tiga ribu eksemplarnya oleh "Pabrik Firman
Hidup di Tepi Sungai Gangga."
(Sisa cerita yang mengharukan itu dapat dibaca
dalam Jilid 2 buku seri ini, dengan judul "Penerjemah Perjanjian Baru
yang Paling Gigih.")
William Carey meninggal pada tahun 1834; Joshua
Marshman menyusul pada tahun 1837. Memang ada orang-orang lain yang
masih dapat meneruskan pelayanan mereka. Namun usaha mereka untuk
menyediakan Alkitab dalam berbagai-bagai bahasa itu praktisnya sudah
selesai pada tahun 1832, ketika Carey menerbitkan revisinya yang
kedelapan dari Kitab Perjanjian Baru bahasa Bangla.
Ternyata tugas itu memakan waktu jauh lebih lama
daripada "kurang lebih lima belas tahun" yang pernah mereka taksir.
Ternyata pula jumlah bahasa yang berbeda-beda "di seluruh belahan Timur"
itu jauh melebihi dugaan mereka semula. Namun prestasi yang dicapai
selama 32 tahun di Serampore itu tidak ada tandingannya sepanjang
sejarah kekristenan.
Pada saat William Carey meninggal, semua bendera
berkibar setengah tiang di seluruh daerah Benggala. Pemerintah
penjajahan, yang semula menghina dan melawan Carey, akhirnya menghormati
saat pemakamannya, seolah-olah ada jenazah seorang raja yang sedang
dikebumikan.
Jadi, "Trio Serampore" itu sudah tidak ada.
"Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" yang mereka usahakan itu pun
tidak ada lagi. Tetapi Firman Hidup itu sendiri masih ada! Beritanya
masih dibawa ke mana-mana oleh putra-putri bangsa India yang setia
mengikuti Tuhan Yesus. Dan pengaruhnya terhadap cara hidup umat manusia
itu masih kuat di seluruh India, dan di seluruh dunia.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar