Suluh Sabda Allah Di Asia Selatan (India, Oman, Iran, Turki, 1806 - 1812)
Pada suatu pagi yang panas di bulan Mei tahun
1806, di kota besar Calcutta, seorang pemuda Inggris turun dari kapal
layar. Ia heran melihat orang-orang India berpakaian serban dan jubah,
heran mendengar raungan gong yang mengajak mereka berbakti, heran juga
merasakan sentuhan para pengemis yang sedang mengerumuni dia.
Belum pernah dia mengalami keramaian masyarakat
seperti itu! Ia berasal dari sebuah desa di Inggris yang agak terpencil.
Kemudian ia pun berkuliah di Universitas Cambridge yang terkenal itu.
Tiba-tiba ada seseorang yang menyalami dia dalam
bahasa ibunya: "Good morning! Apakah mungkin engkau seorang utusan Injil
baru?"
Pemuda itu berpaling dan melihat seorang bapak
setengah umur yang sangat pendek dan sudah botak. Rasanya dulu ia pernah
melihat wajah itu berbentuk gambar, terpampang di dinding gereja di
negeri Inggris. "Wah, ini Pendeta William Carey!" ia berseru.
"Ya, betul, aku sendiri," bapak itu mengiakan. "Dan engkau siapa?"
Henry Martyn, pendeta tentara yang baru tiba dari Inggris."
William Carey mengajak Henry Martyn sarapan dengan
dia. Kemudian ia mengajak pemuda itu ke rumahnya di Serampore. Mereka
naik perahu dayung bersama-sama di muara Sungai Gangga. (Silakan membaca
pasal 4, "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga"!)
Pada waktu Henry Martin mendarat di Serampore, ia
sungguh merasa kagum. Ia senang berkenalan dengan William Ward, tukang
cetak yang menjadi utusan Injil. Dan ia bercakap-cakap lama dengan
Joshua Marshman, rekan sekerja Carey dan Ward.
Henry Martyn sangat tertarik akan usaha yang
sedang berlangsung di Serampore itu, untuk menyediakan terjemahan
Alkitab secara borongan. Pemuda Inggris yang pandai itu suka sekali
mendalami seluk beluk berbagai-bagai bahasa. Sebelum berangkat dari
tanah airnya, ia sudah menguasai bahasa-bahasa asli Alkitab, juga
beberapa bahasa orang Barat. Dalam pelayaran yang memakan waktu sembilan
bulan dari Eropa itu, ia pun sudah mulai mempelajari beberapa bahasa
orang Timur.
Ya, Henry Martyn berminat sekali akan pelayanan
teman-temannya yang baru itu. Namun ia menolak undangan mereka untuk
menetap di Serampore. Paling sedikit ada dua alasan: Sebagai seorang
pendeta tentara, ia harus pergi ke tempat di mana ia ditugaskan. Dan
sebagai seorang ahli bahasa, ia merasa masih ada sesuatu yang kurang
dalam usaha yang mulia di Serampore itu.
Siapa pun yang berusaha menghasilkan terjemahan
Alkitab secara borongan itu mungkin akan mengalami kualitasnya tidak
setinggi kuantitasnya. Di samping itu, kebanyakan bahasa yang sedang
diusahakan oleh Pendeta Carey dan kawan-kawan sekerjanya itu adalah
bahasa-bahasa daerah, yang pemakaiannya masing-masing terbatas dalam
satu wilayah saja.
Sebaliknya, Henry Martyn lebih tertarik akan
bahasa Hindustani. Bahasa perdagangan itu dipakai orang-orang tertentu
di seluruh India. Di dalam bahasa itu pun terdapat banyak campuran
bahasa Persia (atau bahasa Farsi) dan bahasa Arab. Jadi, terjemahan
Alkitab ke dalam bahasa Hindustani itu mungkin dapat membuka jalan ke
arah terjemahan Alkitab dalam beberapa bahasa lainnya pula.
Walau Henry Martyn dikirim ke India sebagai
pendeta tentara, tujuannya yang utama ialah, untuk menyampaikan Sabda
Allah kepada orang-orang yang belum pernah mendengarnya. Ia berhasrat
menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa-bahasa yang dapat
dipahami di wilayah yang paling luas. "Sampai saat ini, sedikit sekali
yang telah kucapai," demikianlah ia mencatat dalam buku hariannya.
"Sekarang, biarlah aku menyala-nyala sampai habis demi Allah" . . .
Selama enam minggu Henry Martyn menelusuri Sungai
Gangga, dari kota Calcutta ke kota Patna. Pada malam hari kapal sungai
yang ditumpanginya itu terlambat di tepi, dan ia suka turun ke
desa-desa. Kadang-kadang penduduk desa melarikan diri, karena mereka
belum pernah melihat seorang manusia berkulit putih dan bermata biru.
Tetapi kadang-kadang mereka ingin mendengar Kabar Baik yang
disampaikannya dalam bahasa Hindustani yang terbata-bata. Kepada mereka
ia juga membagi-bagikan Kitab-Kitab Injil dan surat-surat selebaran yang
telah disediakan oleh Joshua Marshman sebelum ia berangkat dari
Serampore.
Setibanya di Patna, tugas Henry Martyn sebagai
pendeta tentara itu ternyata agak ringan. Kebanyakan tentara Inggris
tidak mau tahu tentang Sabda Allah; mereka hanya menghindari kebaktian
mingguan karena di suruh berbuat demikian. Mereka harus berdiri tegak
selama ibadah itu berlangsung; jadi, para perwira mengusulkan supaya
khotbah diperpendek atau ditiadakan. Bahkan di antara korps perwira itu
sendiri ada yang tidak sudi hadir sama sekali.
Namun Henry Martyn berhasil menemui cukup banyak
orang yang dapat dilayaninya, baik orang Barat maupun orang Timur. Ia
rajin menengok para penderita di rumah sakit. Ia rela pergi ke
mana-mana, betapa pun jauhnya, untuk memimpin upacara pernikahan atau
upacara perkabungan. Ia membuka tiga sekolah gratis untuk anak-anak
setepat. Sering ia berkhotbah di hadapan ratusan orang minta-minta. Ia
menerjemahkan liturgi kebaktian ke dalam bahasa Hindustani, khususnya
demi kaum ibu. Wanita-wanita India itu harus pindah agama waktu menikah
dengan tentara-tentara Inggris, namun mereka sama sekali belum mengerti
bahasa para suami mereka.
Sementara itu, Henry Martyn sangat merindukan
seorang penolong yang sepadan dengan dia. Dulu sebelum berangkat dari
Inggris, ia pernah menjadi akrab dengan seorang pemudi bernama Lydia.
Sesudah ia melihat bahwa situasi di India memungkinkan untuk berumah
tangga, ia menulis sepucuk surat, minta kerelaan Lydia supaya menyusul
dari Inggris dan menjadi istrinya.
Sambil menunggu balasan suratnya itu, Henry Martyn
menyibukkan diri dengan terjemahan Sabda Allah ke dalam bahasa
Hindustani. Sebagai guru ia mendapat dua orang India yang berlatar
belakang agamanya berbeda. Kedua-duanya sering memperdebatkan Perjanjian
Baru, sehingga terjemahannya itu dengan susah payah dapat dikerjakan.
Sewaktu-waktu kesehatan Henry Martyn agak
terganggu. Namun ia berbesar hati, sambil memikirkan sukacita yang
menantikan dia di masa depan.
Lalu pada suatu hari, tibalah sepucuk surat dari negeri Inggris, . . . dan jawaban Lydia itu bukan jawaban yang diharapkan.
Pada hari yang sama itu, para dokter tentara
memberitahu Henry Martyn bahwa ia berpenyakit tebese, sama seperti kakak
dan adiknya yang sudah meninggal di Inggris.
Henry Martyn merasa sangat sedih. Ia tidak mau
lagi berurusan dengan kebun bunga yang sudah mulai digarap di halaman
rumahnya. Ia pun memberitahu seorang sahabat karibnya di Serampore untuk
menjual saja setelan piring dan gelas yang telah dipesannya.
Namun Henry Martyn tidak sampai putus asa. Justru
oleh karena tidak ada harapan untuk dapat hidup senang dengan
kekasihnya, bahkan tidak ada harapan untuk dapat hidup sampai usia tua,
maka sebagai hamba Tuhan ia menjadi lebih bergiat lagi. Ia hendak
menggunakan waktu yang masih ada sebaik-baiknya.
Dan Tuhan pun mengirim seorang penolong baru
kepadanya, persis dua minggu setelah ia menerima surat dari Lydia yang
isinya sangat menyedihkan itu. Sesungguhnya penolong yang baru itu
memungkinkan dia untuk lebih banyak memanfaatkan talentanya yang luar
biasa sebagai seorang penerjemah Alkitab.
Sabat adalah seorang pengembara dari tanah Arab.
Dulu, temannya yang bernama Abdullah telah menjadi orang Kristen. Sabat
mengkhianati temannya itu, sehingga Abdullah mati syahid. Lalu . . .
anehnya, Sabat sendiri kemudian menjadi seorang Kristen. Sebagai
akibatnya, ia pun harus melarikan diri dari orang-orang yang hendak
membunuhnya. Mula-mula ia mengungsi ke Serampore; lalu ia meneruskan
pengembaraannya ke kota Patna.
Sabat dapat berbicara bahasa Arab, bahasa Persia,
dan bahasa Hindustani. Dan, sebagai saudara seiman, ia bersedia menolong
Henry Martyn dengan terjemahannya, tanpa harus memperdebatkan maksud
setiap ayat.
Pada masa yang bersamaan juga, muncullah seorang
lain lagi yang sangat menolong Henry Martyn dengan usaha
penerjemahannya. Nama orang itu, Mirza; ia bukan seorang Kristen, namun
ia tidak memusuhi kaum Kristen. Dan ia pun sangat pandai, baik dalam
bahasa Hindustani maupun dalam bahasa Inggris.
Dengan bantuan kedua penolongnya yang baru itu,
Henry Martyn terus mengerjakan terjemahan Kitab Pernjanjian Baru bukan
hanya satu terjemahan, juga bukan dua, tetapi tiga macam terjemahan
sekaligus! Sabat telah bercerita tentang keperluan rohani orang-orang
yang diam di seluruh negeri Persia, juga di seluruh wilayah yang
berbahasa Arab. Maka dalam jiwa Henry Martyn muncullah suatu cita-cita
yang amat besar: ia akan menyediakan Kitab Perjanjian Baru dalam tiga
bahasa Asia yang sangat penting itu. Ia akan memberikan sabda Allah
kepada seluruh Asia Selatan!
Bukankah bahasa Hindustani itu bahasa perdagangan
seluruh India? Bukankah Persia itu negara tetangga India, yang juga
terletak di Asia Selatan? Dan di sebelah Barat dan Selatan negeri Persia
itu, ada banyak negara yang menggunakan bahasa Arab bahkan sampai ke
Magrib -el-Aksa, Tanah Maroko di Afrika Utara, tempat yang paling jauh
ke sebelah matahari terbenam di mana masih ada orang yang mengerti
bahasa Arab.
Bukan hanya itu saja: Henry Martyn juga
mencita-citakan dapat menyediakan Sabda Allah dalam tiga bahasa Asia
Selatan yang terpenting itu, berupa tiga terjemahan yang paling bagus.
Untuk dapat berbuat demikian, ia berkata kepada dirinya sendiri, aku
harus tinggal di tempat yang ada orang-orang yang biasa memakai setiap
bahasa itu. Di sini, di India, aku sudah berhasil menyediakan Kitab
Perjanjian Baru dalam bahasa Hindustani, bahasa orang India. Kelak aku
pun ingin menyediakan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Persia sambil
menetap di negeri Persia, serta Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Arab
sambil menetap di Tanah Arab!
Dengan tekun Henry Martyn mengejar cita-citanya
yang amat besar itu. Tetapi sebagai seorang pendeta tentara, tugasnya
dipindahkan dari Patna ke Cawnpore makin lama makin jauh ke pedalaman
India. Dan kesehatannya pun semakin menurun.
Lambat laun para atasan Henry Martyn mulai
menyadari bahwa ia perlu dipindahkan lagi ke tempat yang iklimnya lebih
menyehatkan. Mungkin juga pelayaran di lautan lepas akan turut
meringankan penyakit paru-parunya. Maka menjelang akhir tahun 1810,
Henry Martyn diizinkan naik sebuah kapal Sungai Gangga dengan teman
sekerjanya, Sabat. Mereka menuju ke mudik lagi, ke arah Serampore dan
Calcutta.
Seorang sahabat karib Henry Martyn di Serampore
merasa bingung ketika ia mendengar tentang rencananya hendak pergi ke
negeri Persia dan ke Tanah Arab. Dalam sepucuk surat ia menulis: "Sampai
hatikah aku melepaskan kamu? Terus terang, seandainya jasmanimu cukup
kuat sehingga mungkin kamu masih dapat hidup sampai usia tua, aku tidak
sanggup melepaskan kamu pergi. Tetapi justru karena kamu menyala-nyala
seperti fosfor, mungkin apa jiwamu itu akan dapat terus berkobar lebih
lama di Tanah Arab daripada di sini, di India."
(Memang tepat julukan Henry Martyn di judul pasal 5 ini: "Suluh Sabda Allah di Asia Selatan"!)
Kemudian Henry Martyn berpamitan lagi dengan para
sahabatnya di Serampore. Kepada William Carey, William Ward, dan Joshua
Marshman, ia menitipkan hasil karyanya berupa naskah Kitab Perjanjian
Baru dalam bahasa Hindustani. Lalu ia naik kapal laut dan berangkat pada
permulaan tahun 1811.
Dalam pelayarannya mengitari benua India itu,
kesehatannya memang sedikit membaik. Kapalnya mampir di Oman selama dua
minggu saja, dan Henry Martyn senang sekali dapat bercakap-cakap dalam
bahasa Arab dengan penduduk setempat. Tetapi ia tidak sempat tinggal
lama di sana; ia tidak dapat memperbaiki dan menyempurnakan
terjemahannya dari Kitab Perjanjian Baru di negeri yang berbahasa Arab
itu.
Setibanya di negeri Persia, Henry Martyn langsung
mengungsi ke daerah pegunungan tinggi, tempat tinggal gubernur
penjajahan Inggris. Sang gubernur itu sangat baik hati; ia
memperkenalkan tamunya kepada seorang tokoh bangsa Persia bernama Jaffar
Ali. Jaffar Ali menerima pemuda Inggris itu sebagai tamu yang menginap
di rumahnya. Ia pun memperkenalkan iparnya yang bernama Seid Ali.
Seid Ali menggeleng-gelengkan kepalanya pada saat
ia memeriksa naskah Kitab Perjanjian Baru bahasa Persia itu, yang telah
dikerjakan oleh Henry Martyn dengan bantuan Sabat. Ternyata Sabat tidak
sepandai berbahasa Persia seperti pengakuannya! Maka Henry Martyn harus
mulai lagi dari permulaan.
Untung di daerah pegunungan yang segar hawanya itu
kesehatan Henry Martyn terus membaik. Karena untuk sementara tugas
sehari-hari sebagai pendeta tentara tidak ada lagi, maka ia mempunyai
lebih banyak waktu untuk menerjemahkan Sabda Allah. Dan Seid Ali, walau
ia belum rela percaya kepada Isa Almasih, namun bersikap terbuka
terhadap Kabar Injil itu.
Pada permulaan tahun 1812, terjemahan Kitab
Perjanjian Baru (dan juga Kitab Mazmur) dalam bahasa Persia itu sudah
selesai. Salah satu naskahnya dititipkan kepada gubernur penjajahan
Inggris. Tetapi Henry Martyn ingin juga menyampaikan salah satu
salinannya kepada Shah Persia. Untuk maksud itu ia mendapat surat-surat
perkenalan dari sang gubernur. Dengan beberapa teman, berangkatlah dia
menuju ke tempat istana sang Shah.
Ternyata perjalanan itu tidak semudah yang
disangkanya. Sang Shah tidak ada di tempat yang dituju oleh Kafilah itu.
Henry Martyn terus mencari dia. Tetapi di tengah-tengah perjalanan itu,
penyakitnya kambuh lagi. Satu-satunya harapan bahwa ia dapat sembuh
ialah, jika ia dapat menjelajahi seluruh negeri Turki sampai ke kota
Istanbul. Dari sana ia dapat naik kapal laut ke negeri Inggris.
Henry Martyn tidak pernah sampai ke kota besar
Istanbul. Ia meninggal di pedalaman negeri Turki, pada bulan Oktober
tahun 1812. Jadi, masa pelayanannya di Asia Selatan itu sangat pendek,
hanya enam tahun saja. Namun prestasinya selama enam tahun itu melebihi
harapan seseorang yang masa kerjanya enam puluh tahun. Coba simak:
+ Kitab Perjanjian Baru bahasa Hindustani hasil
karya Henry Martyn itu diterbitkan di Serampore pada tahun 1814. Bahasa
Hindi adalah bahasa resmi Republik India pada masa kini; bahasa Urdu
adalah bahasa resmi Republik Pakistan pada masa kini; kedua-duanya
merupakan bahasa turunan dari bahasa Hindustani. Jadi, setiap terjemahan
Alkitab dalam kedua bahasa yang penting itu, pasti banyak dipengaruhi
oleh terjemahan Henry Martyn pada masa lampau.
+ Kitab Perjanjian Baru bahasa Persia hasil karya
Henry Martyn itu diterbitkan di kota St. Petersburg tahun 1815. Sang
gubernur Inggris telah membawa naskah yang sangat berharga itu ke negeri
Rusia, sehingga jadi diterbitkan di sana. Itulah Perjanjian Baru
lengkap yang pertama-tama dalam bahasa resmi Republik Iran pada masa
kini; itu juga merupakan nenek moyang dari setiap terjemahan Perjanjian
Baru bahasa Persia atau Farsi sampai sekarang.
+ Kitab Perjanjian Baru bahasa Arab hasil karya
Henry Martyn itu diterbitkan di kota Calcutta tahun 1816. Walau sangat
berpengaruh pada zamannya, terjemahan itu tidak tahan lama seperti kedua
terjemahan lainnya. Mungkinkah karena Henry Martyn tidak sempat
mencapai bagian ketiga dari cita-citanya yang amat besar itu, yakni ia
tidak pernah dapat menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru bahasa Arab
sambil menetap di Tanah Arab?
Bagaimanapun juga, Henry Martyn yang hanya enam
tahun karirnya itu telah mendapat julukan, "Suluh Sabda Allah di Asia
Selatan." Harapan yang pernah dicatatnya dalam buku hariannya ketika ia
baru tiba di benua Asia itu sungguh terjadi: "Biarlah aku menyala-nyala
sampai habis demi Allah!"
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar