Nurvita Indarini - detikNews
Jakarta -
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis 51 dari
100 remaja putri di Jabodetabek tidak perawan. Remaja memang rentan
melakukan seks pranikah, meskipun tidak berarti identik melakukan hal
itu.
Hal itu terjadi karena saat remaja, terjadi perubahan
fisik. Jika saat anak-anak mereka cenderung cuek pada organ
reproduksinya, ketika menginjak usia remaja kecuekan itu pupus.
"Yang
perlu dilakukan bukan dibangun ketakutan bahwa seks itu dosa. Itu
hadiah dari Tuhan. Seks itu anugerah, betapa berharganya maka hargailah.
Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk berharga untuk kendalikan diri
kita, untuk jadi baik. Mengatur diri dengan baik," tutur Ratih.
Berikut
ini wawancara detikcom dengan psikolog lulusan Universitas Indonesia
yang juga menyandang gelar Magister Manajemen dari Sekolah Bisnis
Prasetiya Mulya ini, Minggu (28/11/2010):
Mengapa remaja rentan seks bebas?Rentan
tetapi tidak identik melakukan. Kalau sekarang datanya bilang 51 dari
100 remaja tidak perawan, berarti karena sekitar 50 persen terekspos
perilakunya. Dulu mungkin sama tapi kita nggak tahu, karena informasi
ditutup.
Remaja itu mengikuti perkembangan tubuhnya, secara
alamiah, natural dan normal berubah. Begitu akil balig, mereka yang
tadinya aseksual jadi seksual karena organ reproduksi menjadi matang.
Kalau nggak matang justru nggak normal. Matang karena Tuhan yang
membuat. Tuhan menyiapkan fisik dan mentalnya antara lain untuk tugas
berkembang biak saat dewasa.
Ini otomatis, karena satu paket, ada
ketertarikan terhadap lawan jenis. Mereka yang tadinya cuek jadi lebih
berminat. Karena organ reproduksi matang, sekarang seks jadi salah satu
orientasi. Kalau dulunya cukup pangan sandang, papan, kemudian seksual
juga jadi basic needs.
Kalau menjadi rentan terhadap seks bebas
karena masyarakat punya permisifitas terhadap seks. Dulu kan aturan
dikekang ketat sehingga seks ditabukan. Perilaku terkait seks ditutupi,
sementara sekarang jadi lebih ekspresif mewujudkan dalam perilaku.
Apakah awalnya remaja ingin tahu tentang aktivitas seks, lalu mencoba, lalu ketagihan dan kemudian menganggap itu biasa?Bisa
saja, tetapi tidak mutlak. Mungkin saja begitu, tetapi belum tentu. Di
Jakarta saja dari sekian sekolah, karakter remajanya beda-beda. Ada yang
liberal terpapar seks bebas, ada yang cuek tetapi nggak terpapar.
Macam-macam.
Saya pernah ketemu remaja di Papua, di mana di sana peningkatan HIV/AIDS tinggi. Karena secara budaya mereka punya kebiasaan
hang out,
ada semacam pesta yang saling bertemu banyak orang, lalu melakukan seks
di situ. Dan itu turun temurun, sehingga ada yang sudah biasa begitu di
sana.
Karena sudah dari dulu begitu, akhirnya yang dibekalkan
adalah bagaimana melakukannya secara safe. Setidaknya pakailah kondom.
Karena kalau kita terlibat sampai tidak membolehkan, siapa kita? Kok
kita ngatur-ngatur mereka.
Pendidikan seks sangat minim?Dari
dulu sebenarnya sudah dilakukan pendidikan seks. Namun
kecenderungannya, masyarakat sekarang semakin lama semakin permisif.
Dulu anak-anak tidak berani mencari informasi tentang seks, sekarang
semakin mencari.
Orangtua itu kan role model, sayangnya ada
orangtua, termasuk masyarakat yang lupa bahwa anak-anak tidak bisa
tumbuh sendiri. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri, akhirnya
anak-anak tumbuh dengan mencari apa yang dianggap benar oleh mereka
sendiri, apa yang dianggap oke untuk dirinya sendiri.
Pendidikan
seks ada, tetapi modul yang seragam memang belum ada. Semua gerak
sendiri. Siapa yang menyampaikan, apa yang menyampaikan dan lain-lain
memang belum ada yang seragam. Konteks agama yang mewarnai pendidikan
itu juga macam-macam. Ada yang terbuka dan ada yang tertutup sama
sekali.
Tahun ini saya ikut kampanye pendidikan seksualitas di
SMP, sekitar 200 sekolah di Jawa. Saya bersama salah satu produk
pembalut wanita. Yang diberikan adalah tentang keberhargaan tubuh.
Tidak cukup hanya pembekalan agama?Memang
tidak. Yang perlu dilakukan bukan dibangun ketakutan bahwa seks itu
dosa. Itu hadiah dari Tuhan. Seks itu anugerah, betapa berharganya maka
hargailah. Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk berharga untuk
kendalikan diri kita, untuk jadi baik. Mengatur diri dengan baik.
Sama
Tuhan kita dikasih alarm system untuk jadi malu. Makanya di usia 6
tahun misalnya kita masih bisa lari-lari nggak pakai baju, tapi ketika
ada perubahan di tubuh, kita jadi malu. Makanya kemudian alat kelamin
dan aurat disebut kemaluan, karena jadi malu kalau terbuka.
Orang
itu kalau menyimpan barang berharganya bagaimana? Tentu dia akan
menjaganya baik-baik. Akan hati-hati, nggak sembarangan (diperlihatkan
dan digunakan), karena tubuh menjadi bagian rumah ibadah.
Sejak kapan pendidikan seks diberikan?Itu
wajib dilakukan sejak usia yang sangat dini. Ini dimulai dari, misalnya
kamu laki-laki karena kamu punya penis. Kamu bukan laki-laki karena
kamu punya vagina. Karena kamu perempuan, namanya Dewi, misalnya. Lalu
diajari bagaimana seorang anak laki-laki menyayangi ibunya, yang pada
akhirnya menumbuhkan afeksi ke perempuan. Dan sebagainya.
Juga
pemahaman tentang keberhargaan tubuh, diri, alat kelaminnya sejak muda.
Ketika masuk usia pubertas, akan menunjukkan keberminatan yang normal,
tertarik lawan jenis dll tetapi sehat. Kalau ingin tahu tidak akan
diam-diam mencari-cari sendiri tetapi bertanya pada orangtua sehingga
orangtua akan memberi banyak penjelasan dan pengertian. Ini diberikan
bukan saat remaja saja, tapi sejak awal kehidupan anak. Jangan
menunda-nunda dengan mengatakan 'nanti sajalah kasih tahunya kalau sudah
remaja' karena nanti bisa terlambat.
Dari mana remaja mendapat info tentang seks?Dari
riset saya, 51 persen mendapatkan dari teman, yang dari orangtuanya
malah cuma sekitar 20-an persen. Ini karena bisa jadi orangtuanya nggak
cukup mengerti. Saya ketemu beberapa orangtua, mereka mengaku nggak
tahu bagaimana ngomongnya dengan anak. Kalau setiap orangtua punya bekal
yang cukup untuk mendampingi anaknya tentu akan memberikan pendampingan
yang baik dan benar, tetapi nggak semua orangtua teredukasi.
Seks bebas remaja juga dikarenakan terpapar pornografi yang mudah dan murah diakses?Ya
memang informasi sekarang menjadi murah. Dulu informasi tentang itu
sangat terbatas. Tapi dengan teknologi, jadi kebanjiran informasi yang
mencakup segala aspek, termasuk seksualitas. Kalau remaja tidak mendapat
pendampingan yang benar, maka mereka rentan mengarah ke pornografi atau
seks bebas.
Tapi kalau pendampingannya benar, mereka tidak
antipati, tapi secara alamiah akan lebih hati-hati untuk mengelola
informasi. Sehingga mereka tahu dengan sendirinya kalau dirinya
berharga.
Kalau mereka menyadari benar keberhargaan dirinya, maka
mereka akan hati-hati. Mereka akan memperlakukan seks dengan benar,
sehingga paparan terhadap kehamilan pranikah, termasuk jangkitan HIV
bisa diminimalkan.
Bagi kebanyakan remaja, keperawanan masih penting?Saya
tidak ada data pasti. Tapi saya ketemu banyak remaja. Lebih dari seribu
remaja dalam setahun. Mereka bilang keperawanan tetap penting. Hanya
saja sejauh mana akan mempertahankan kan nggak ada jaminan.
Yang bisa menjaga adalah kita sendiri. Kepada saya mereka bilang akan menjaganya sampai dengan
meet the right man, the right time and the right place. Tentunya ini dilakukan ketika sudah di atas 21 tahun, karena itu umur yang sudah dewasa. Siap berkeluarga.