Pernyataan SBY yang kelewat dungu dan tidak memahami ...tanpa melihat selengkapnya sejarah
serta perasaan orang Yogya membuat banyak pihak meradang, begitu juga
dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Kenapa SBY bisa tidak mengerti
sejarah Yogyakarta dimana Sri Sultan
Hamengkubuwono IX pada waktu itu mempertaruhkan kedudukan politiknya,
tidak mempedulikan tawaran Ratu Juliana yang akan memberikan kedudukan
Sri Sultan HB X sebagai Pemimpin Koalisi Indonesia-Belanda dan
Menggadaikan kekayaannya untuk berlangsungnya Pemerintahan Republik
Indonesia.
Generasi muda ada baiknya mengetahui asal usul kenapa Yogyakarta
diberikan status wilayah Istimewa sebagai konsesi politik dan
penghargaan Pemerintahan Republik Indonesia terhadap peranan rakyat
Yogya yang gantung leher mempertaruhkan eksistensi Republik Indonesia.
Tak lama setelah Proklamasi 1945, pemimpin pusat macam Sukarno, Hatta,
Subardjo dan Amir Sjarifudin menyatakan bahwa "Eksistensi pengakuan
pernyataan Pegangsaan harus didukung kekuatan riil di daerah, Belanda
atau pihak asing hanya akan mengakui kemerdekaan itu bila
kekuatan-kekuatan daerah mendukung" memang pada hari-hari pertama Jawara
Banten sudah mendukung pernyataan kemerdekaan RI dengan mengirimkan
pendekar-pendekarnya mengamankan Jakarta. Kekuasaan Jepang di seluruh
wilayah Banten direbut oleh para pendekar. Tapi kekuasaan pendekar itu
bukan jenis kekuasaan formal yang teratur rapi. Begitu juga dengan
dukungan jago-jago silat Djakarta dan Bekasi yang kemudian membentuk
laskar bersendjata untuk langsung tarung di jalan-jalan Cikini sampai
Kerawang. Kekuasaan Informal langsung mendukung Sukarno. Tapi bagaimana
dengan kekuasaan formal yang telah didukung administrasi rapi dan
memiliki massa pengikut jutaan. Kekuasaan formal itu terletak di Solo
dan Yogyakarta. Solo dan Yogyakarta
disebut dengan daerah Voorstenlanden, atau daerah yang diberi kekuasaan
khusus oleh Hindia Belanda sebagai buntut perjanjian Giyanti 1755.
Setiap terjadi suksesi Belanda sebagai pemerintah pusat bernegosiasi
terus menerus dengan raja baru untuk menambah konsesi wilayah dan
peraturan-peraturan baru. Lama kelamaan daerah Voorstenlanden hanya
sebatas wilayah Yogyakarta dan Surakarta
seluruh wilayah Mataram asli semuanya masuk ke dalam pemerintahan Hindia
Belanda. Namun wilayah boleh direbut tapi pada hakikatnya rakyat Jawa
Tengah dan Sebagian Jawa Timur menganggap raja mereka berada di Solo dan
Yogya. Seperti orang Madiun yang lebih berorientasi pada Mangkunegaran
atau Blitar yang menganggap Yogya lebih representatif ketimbang Solo.
Namun terlepas dari itu semua raja-raja Yogya dan Solo dianggap bagian
dari trah resmi raja-raja Jawa.
Pengumuman kemerdekaan Indonesia
dilakukan pada sebuah rumah di Pegangsaan ini artinya : Kemerdekaan itu
lahir bukan dalam situasi formal. Pemerintahan pendudukan Jepang tidak
lagi pegang kuasa di Indonesia setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom
atom dan Hirohito dipaksa menandatangani surat pernyataan kalah tanpa
syarat dihadapan Jenderal MacArthur dan sebarisan perwira AS bercelana
pendek. Pemerintahan Jepang dipaksa oleh pihak sekutu sebagai pemenang
perang untuk mengamankan seluruh aset-aset di wilayah Asia yang diduduki
Jepang termasuk Indonesia. Namun perwira-perwira samurai itu juga sudah
pernah berjanji pada sebarisan kaum Nasionalis untuk memerdekakan
Indonesia, tapi tujuan kemerdekaan itu adalah membentuk : Persekutuan
bersama Asia Timur Raya. Kemerdekaan itu ditunda beberapa kali sehingga
sempat membuat berang Sukarno. Namun pada malam 16 Agustus 1945
Laksamana Maeda dengan garansi dirinya pribadi membantu kemerdekaan
Indonesia sebagai bentuk pemenuhan janji. Hanya saja statement
kemerdekaan dikesankan bukan dari Jepang. Dan Sukarno butuh formalitas.
Ia butuh rakyat Jawa, hatinya orang Jawa untuk berdiri dibelakang dia
setelah pengumuman kemerdekaan. Sementara Tan Malaka sendiri yang
belakangan muncul meragukan kemampuan Sukarno menggalang dukungan rakyat
secara utuh, Tan Malaka bilang pada Subardjo "Suruh Sukarno cepat cari
dukungan di tingkat daerah, dia jangan bermain di wilayah elite melulu".
Apabila tidak mendapat dukungan formal minimal di Jawa maka sekutu
dengan cepat bisa melikuidir Indonesia. Barulah pada pagi hari saat
Sukarno sedang rapat dengan beberapa menteri datang sebuah surat kawat
(telegram) dari Yogyakarta. Sukarno
membuka telegram itu dan langsung melonjak dari tempat duduknya. Mukanya
yang sedari awal kusut kurang tidur sontak gembira. Di depan menterinya
Sukarno berkata "Surat ini adalah langkah awal eksistensi secara de
facto bangsa Indonesia, sebuah functie yang bisa mendobrak
functie-functie selanjutnya. De Jure kita sudah dapatkan secara aklamasi
pada Proklamasi Pegangsaan tapi De Facto surat ini menjadi pedoman kita
semua".
Surat 5 September 1945 yang berisi maklumat itu berasal dari
Sri Sultan yang berisi bahwa :
Pertama : Bahwa daerah istimewa
Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah Istimewa dari
negara Republik Indonesia.
Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah
memegang kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan oleh kerna
itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan
Ngayogyokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan
kekuasaan lainnya kami yang pegang.
Ketiga : Bahwa perhubungan antara
Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat dengan pemerintahan pusat negara
Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas
negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Tiga poin dalam
isi surat itu sesungguhnya adalah sebuah negosiasi politik kepada
Pemerintahan Republik Indonesia dari kekuasaan Yogya. Bahwa Raja Yogya
bersedia masuk ke dalam struktur Indonesia apabila kekuasaan di Yogyakarta
terjamin oleh Pemerintahan RI. Sesungguhnya Sri Sultan membuat
statement ini adalah kecerdasan Sri Sultan karena ia tidak mau kelak
Yogya akan banjir darah oleh revolusi sosial kemudian Yogya dipimpin
oleh kelompok-kelompok revolusioner yang tidak bertanggung jawab.
Pandangan visioner Sri Sultan ini terbukti jitu : Beberapa waktu
kemudian, Kesultanan Deli di Sumatera Timur dan Surakarta terjadi
revolusi sosial. Seluruh bangsawan Deli dibantai oleh pasukan yang
mendukung terjadinya gerakan anti kerajaan sementara di Surakarta yang
sebelumnya diberikan status juga oleh Jakarta sebagai DIS : Daerah
Istimewa Surakarta, terkena serbuan pasukan Tan Malaka yang menolak
adanya pemerintahan Swapradja, akibatnya status DIS dihapus karena para
penguasa Solo tidak bisa mengendalikan keadaan yang take over Solo malah
anak-anak muda yang tergabung dalam Tentara Pelajar. Saat itu Sunan
Pakubuwono XII dan Sri Mangkunagoro VIII masih bimbang mau berpihak pada
Republik atau menunggu Belanda datang. Pada tahun 1940-an seluruh
penguasa Kasunanan Solo, Mangkunegaran, Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta
adalah raja-raja baru yang terdiri dari anak muda berusia 30-an tahun.
Rupanya Sunan PB XII dan Mangkunegoro VIII tidak memiliki kejelian
politik seperti Hamengkubuwono IX yang masuk langsung ke dalam struktur
pemerintahan RI dan mengendalikan Angkatan Bersenjata serta mengamankan
rakyat Yogya dari "Kekacauan-Kekacauan Revolusi". Tindakan Sultan yang
cepat ini justru menguntungkan jalannya sejarah Republik Indonesia di
kemudian waktu, karena Sultan dengan kekuasaannya menciptakan suatu
daerah kantong yang terkendali. Daerah kantong inilah yang kemudian
dijadikan basis perjuangan menegakkan pemerintahan Republik setelah
sekutu masuk ke Tanjung Priok.
Saat sekutu masuk yang kemudian
diboncengi NICA membuat penggede-penggede Republik terancam nyawanya.
Sjahrir sendiri pernah merasakan mobilnya diberondong peluru. Hampir
tiap malam Sukarno berpindah-pindah tempat karena diburu pasukan intel
Belanda, bahkan sering Sukarno tidur di kolong tempat tidur. Hal ini
jelas membuat pemerintahan tidak berjalan efektif. Adalah Tan Malaka
sendiri yang menganjurkan agar Jakarta segera dikosongkan dari
pemerintahan Republik dan Pemerintahan menyingkir ke pedalaman sembari
mengefektifkan pemerintahan.
Tapi pedalaman mana yang bisa dikendalikan.
Dan Hatta menjawab : "Yogyakarta adalah
tempat yang tepat, karena di wilayah sana semua rakyatnya dikendalikan
oleh Sultan hanya saja apakah Sultan akan menjamin kita" mendengar
ucapan Hatta, Sukarno memerintahkan stafnya menghubungi Sri Sultan.
Dalam pembicaraan tidak resmi ditelepon, Sri Sultan berkata :"Saya
Sultan Yogya, Sabdo Pendhito Ratu. Menjamin bahwa Pemerintahan Republik
Indonesia aman di Yogyakarta"
Jaminan Sri
Sultan inilah yang dijadikan titik paling penting keberadaan Republik
Indonesia ditengah ancaman serbuan pasukan bersenjata Belanda. Akhirnya
dicapai kesepakatan bahwa untuk menghadapi sekutu dan melobi
penggede-penggede sekutu adalah Sutan Sjahrir yang ditinggalkan di
Jakarta sementara Presiden dan Wakil Presiden sebagai lambang kekuasaan
negara dibawa ke Yogyakarta dengan Kereta
Luar Biasa (KLB) yang sekaligus memboyong seluruh keluarga mereka.
Keberangkatan KLB itu juga menandai perpindahan Ibukota. Peristiwa itu
terjadi pada 4 Januari 1946. Di Yogyakarta,
Sri Sultan bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan seluruh penggede
Yogya. Seluruh pejabat ditempatkan dilingkungan Keraton. Sukarno
ditempatkan di Gedong Agung dan Sri Sultan menghormati kekuasaan
Republik Indonesia walaupun sesungguhnya Republik ini baru berdiri.
Pejabat-pejabat RI itu rata-rata dalam kondisi miskin. Sultan sendiri
yang kerap mengambil emas simpanannya untuk membiayai seluruh
operasional pemerintahan. Sri Sultan memberikan tanpa dihitung bahkan
pernah gaji pegawai Republiek belum terbayar Sri Sultan dengan dana
kekayaan pribadi sendiri membiayai gaji-gaji pegawai republiek. Tahu
bahwa Yogyakarta menjadi pusat kendali
Republik. Tentara Belanda tidak berani langsung mengebom Yogya. Hal ini
terjadi karena Ratu Juliana dulu adalah teman sekolah Sri Sultan di
Belanda. Mereka berdua dari SD sampai Kuliah berada dalam lingkungan
yang sama. Sri Sultan dipanggil Juliana sebagai Hengky.
Bahkan ada gosip
Ratu Juliana memiliki cinta sejatinya pada Sri Sultan.
Sebelum Yogya
digempur pesan dari Kerajaan Belanda bahwa nyawa Sri Sultan tidak boleh
dikutak-kutik. Karena sikap keras Juliana yang tidak memperbolehkan
kekuatan militernya menyenggol Sri Sultan maka staff militer di Belanda
mengambil kebijakan untuk mempengaruhi Sri Sultan agar berpihak pada
Belanda. Sri Sultan ditawari menjadi pemimpin pemerintahan bersama
Indonesia-Belanda tapi Sultan menolak. Baginya Indonesia adalah tujuan
hidupnya. Karena tidak sabar atas sikap keras Sri Sultan yang berdiri
dibelakang pemerintahan Republik maka Belanda mau tidak mau harus
menguasai Yogyakarta. Pada tahun 1948
setelah terjadinya geger Madiun, Belanda punya taktik yang khas dengan
caranya yang licik menikam pemerintahan Republik di Yogya. Belanda
awalnya mengadakan perjanjian kerjasama latihan militer dengan TNI
sebagai wujud gencatan senjata tapi kemudian malah dari Semarang pasukan
Van Langen menerobos Yogya dengan Operasi Kraai. Sepuluh ribu penerjun
payung menghujani udara Maguwo, Yogyakarta
diserbu tanpa persiapan. Saat itu yang jadi komandan keamanan Kota Yogya
adalah Suharto (kelak jadi Presiden RI kedua).Tapi entah pasukan
Suharto ada dimana. Letkol Latif Hendraningrat sendiri langsung
mencari-cari Suharto tapi tidak ketemu. Sudirman masih terbaring sakit
karena paru-parunya menghitam. Sedangkan Bung Karno cs sedang rapat di
Gedong Agung. Pasukan Van Langen dengan cepat masuk ke Gedong Agung.
Tapi sebelumnya terjadi perdebatan keras. Sukarno menyerah atau melawan
sekutu. Sukarno berpendapat bahwa dengan ia menyerah maka dunia
internasional akan meributkan agresi militer Belanda dan memberikan
dukungan bagi Indonesia. Tapi pihak Sudirman menghendaki diadakannya
perlawanan total, Sukarno dan Hatta harus ikut berperang di pedalaman.
Sukarno memilih tidak ikut cara Sudirman. Sebelum ditangkap pasukan Van
Langen Sukarno berpesan pada Sri Sultan agar keutuhan Republik Indonesia
dijaga. Sultan hanya mengangguk namun sebagai Raja Jawa ia selalu
memenuhi janji. Sri Sultan berpikir keras dengan apa Yogyakarta
harus mendapatkan kemenangan politiknya.
Suatu sore Sri Sultan
mendengar perdebatan melalui BBC bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi.
Delegasi Belanda di PBB menyatakan "Pemerintahan Illegal Republik
Indonesia sudah Hilang secara de facto yang berkuasa adalah Belanda kota
Yogya sepenuhnya dibawah kendali Pemerintahan Belanda". Mendengar hal
itu Sultan mendapat ide untuk mengejutkan dunia Internasional.
Dipanggilnya Suharto sebagai Komandan Wehrkreise X untuk membangun
serangan kejutan. Lalu terjadilah Serangan Umum 1949 yang kemudian
mengubah jalannya sejarah. Setelah serangan umum Pemerintahan Belanda di
PBB kalah suara dan dukungan Internasional mendukung Pemerintah
Republik Indonesia sehingga pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui
kemerdekaan RI.
Karena Juliana sangat membenci Sukarno maka yang datang
menandatangani adalah Hatta sementara di dalam negeri yang
menandatangani adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX di depan AJ Lovink.
Penandatangan Pengakuan Kedaulatan adalah pengakuan de facto.
Dan
Republik Indonesia yang masih bayi benar-benar diselamatkan oleh Sri
Sultan sebagai pengasuh yang benar-benar menjamin keselamatannya.
Lalu
setelah puluhan tahun sejarah hendak dilupakan. Masuknya
kelompok-kelompok dogol di Jakarta dan menguasai Politik Indonesia.
Hanya karena ingin menggusur kedudukan Sri Sultan sebagai kekuatan
politik pada pertarungan 2014 maka mereka ingin menghapuskan status
daerah istimewa Yogya sekaligus ingin menghilangkan kekuasaan de facto
Raja Jawa yang berada dalam lingkungan bangsa Indonesia.
Benar kata Pram
: "Sebuah bangsa yang tidak mengerti sejarahnya sendiri hanya akan
melahirkan ketololan-ketololan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar